Rintik hujan satu persatu turun basahi bumi. Dalam keheningan
malam, hanya suara hujan dan lagu ‘Hurt’ dari Christina Aguilera yang menemani
sepiku. Kuraih boneka teddy bear yang sedari tadi kuperhatikan. Boneka
pemberiannya, batinku. Tenggorokanku sakit menahan tangis yang ingin
membuncah keluar. Menelan ludahpun perih. Sungguh, berat rasanya harus berpisah
dengan orang yang kita sayangi, yang selalu ada untuk kita meski dalam keadaan sibuk, yang
mengganti tangis kita dengan senyum, menghapus air mata saat kita menangis, dan
mendukung kita saat kita butuh dorongan.
Dia..
Pacarku.
Ya, hingga malam ini, dia masih pacarku. Mungkin tidak untuk esok.
Aku lelah harus terus membohongi orang tua. Memang, hubungan kami selama hampir
lima bulan ini sembunyi-sembunyi dari orang tua. Aku dan dia sama-sama belum
siap untuk mengatakannya kepada orang tua kami masing-masing. Yah, aku takut
orang tua kami akan memarahi kami.
Tidak tahu berapa
lama kupandangi boneka teddy bear itu, dan berapa butir air mataku yang
menetes. Ya Allah, apapun keputusannya besok, itulah jalan yang terbaik yang
Kau pilihkan. Mataku mengedip, dan kurasakan air mataku kian mengalir
membasahi pipi. Aku mendesah. Ingatan-ingatan tentangnya berlarian dipikiranku.
Waktu-waktu yang telah kami lewati bersama, cafe dan resto yang sering kami
kunjungi, bioskop favorit yang menjadi tempat tongkrongan kami. Ya, itu semua
akan menjadi saksi bisu perjalanan kami selama lima bulan ini.
Memang, aku tidak
pernah mengerti tentang cinta, yang kurasakan adalah aku senang bila sedang
bersamanya, aku merasa kehilangan saat dia tidak ada, cemburu saat melihatnya
bersama wanita lain, khawatir dan cemas saat ia sakit, dan rindu saat tak
bertemu. Apa itu cinta? Aku tidak tahu, dan kubiarkan rasa ini mengalir begitu
saja mewarnai ruang rinduku.
Kudekap boneka teddy bear itu, dan akhirnya terlelap.
Keesokan harinya, aku
datang terlambat ke sekolah. Sedang Rezky, pacarku, sudah menunggu di sekolah.
“kamu mau ngomong apa?” tanyanya ketika kami bertemu di koridor menuju kelasku.
“bentar ya, aku simpen tas dulu” setengah berlari, kutuju kelasku dan
meninggalkan dia sendiri di belakang.
Sejurus kemudian, dia
sudah berdiri menungguku di depan kelas. “kamu mau ngomong apa?” pertanyaan
yang sama. Kujelaskan segala keresahanku, dan semua yang membebani pikiranku
beberapa minggu terakhir. Air muka kesedihan terlihat jelas di wajah kami.
Antara keinginan untuk tetap bertahan dan keresahan kami menjalani hubungan
tersembunyi ini. Terlebih, kami takut kepada Allah bila kami tetap berpacaran.
Rezky hanya menarik napas panjang berulang kali tanpa menanggapi pernyataanku.
Kututup penjelasanku denegan pertanyaan: “jadi menurut kamu kita baiknya
sekarang?” dia hanya diam, dan kemudian menghela napas panjang. Lagi.
Aku semakin bingung,
tak tahu apa yang harus kuperbuat. “Gimana kalo kita temenan aja?” itulah
pertanyaan yang berhasil keluar dari mulutnya. Tentu saja pertanyaan itu
membuatku terperangah. Duh Allahku, andai saja ada jalan lain selain harus mengakhiri
hubunganku dengannya, batinku. Ya, aku adalah seorang muslim, dan sudah
seharusnya menerima hukum Allah dengan keseluruhan, tidak setengah-setengah.
Meski aku tak ingin,
tapi harus kulakukan. Dan sejak detik itu, kami resmi mengakhiri hubungan pacaran
kami. Aku bingung harus bahagia atau sedih.. ini cukup sakit, tapi ini juga
demi membebaskan kami berdua dari keresahan kami. “Kamu jangan nangis...”
pintanya. Ah, tentu saja dia tahu mataku hampir berair. “Enggak ! tuh liat
mataku ! ga nangis kan?” aku mencoba meyakinkannya. Bellpun berbunyi. “kamu
janji yah sama aku, kamu ga akan nangis” pintanya lagi seraya bangkit dari
duduknya. Dia masih berdiri memperhatikanku. “Iya, aku gapapa. Demi kebaikan
kita” aku tersenyum. Kuperhatikan langkahnya yang mulai berjalan menjauhiju. Ya
Allah, inilah jalan terbaik yang kau pilihkan.
Badanku gemetaran.
Kuhampiri bangkuku dan membuncahkan tangis disana. “Kenapa Ra?” Dina, teman
sebangkuku bertanya sambil mengelus bahuku pelan.. “Aku....” lalu kugerakkan
kedua jari tangaku membentuk kail yang berhubungan seperti rantai, lalu
kupisahkan pelan mencoba mengisyaratkan kepadanya bahwa hubunganku telah
berakhir. Ya Allah... padahal tadi aku sudah berjanji pada Rezky bahwa aku
tidak akan menangis. “Tenang Zahra, yang kamu pilih bukan jalan cinta,
namun jalan ridha Allah. Gak masalah kalo kamu ngerasa kehilangan tadi, tapi
jangan dibiarkan berlarut-larut. Kita bebas
mencintai kok, asal tidak lantas mengalahkan cinta kita kepada Allah”
Dina mengingatkanku dengan dihiasi senyum yang membuatku tenang. Yah, Dina
benar. Aku memang payah dalam hal ini. Aku seharusnya tidak menangis. Beberapa
menit kemudian, pelajanpun dimulai.
Sepulang sekolah,
rasanya ingin segera saja pulang ke rumah. Ku tunggu ayah yang biasanya
menjemput. “Zahra !!” seseorang memanggilku. “Apa?” tanyaku.
“mau pulang?” tanyanya sambil menggiring motornya menhgampiriku.
“iya”
“Kemana pulangnya?”
“Ke arah sana,” jawabku sambil menunjukkan arah.
“yaudah bareng aja sekalian.”
“Oh... emang kamu mau kemana?”
Pertanyaanku tidak
dijawab. Ia malah memintaku segera naik ke motornya. “Kamu mau kemana Rand?”
Randy tetap tidak menjawab. Akhirnya aku diam. Apalagi dia. Tiba di depan
rumahku, aku memintanya berhenti. Dia diam, mungkin menungguku berbicara.
“makasih ya” Dia hanya tersenyum, lantas membalikkan motornya, lalu pergi.
Tiba di rumah, tidak
ada siapa-siapa. Aku langsung ke kamarku. Entah mengapa tubuhku terasa begitu
lemas. Tibs-tiba handphoneku berdering. RANDY.
“Hallo Rand?”
“Hallo Ra”
“Ada apa?”
“Ga ada, cuma penger suara kamu”
“maksudnya?”
Tuuut.. tuuut.. tuuut.. telepon
dimatikan dari seberang. Ada apa dengan si Randy ini?? Ah, sudahlah, tidak ada
gunanya memikirkan anak aneh seperti dia.