Cari Blog Ini

Sabtu, 26 April 2014

PERAN ANAK DALAM KEBUDAYAAN


Oleh : Tari Purwanti
Seorang individu dapat dikatakan sebagai anak-anak adalah ketika dia menginjak usia 4-17 tahun. Penyebutan “anak” begitu relatif, ada yang menyebutkan di usia 6-13 tahun, ada pula yang menyebutkan antara 5-14 tahun. Anak menurut perspektif antropologi sebagai individu yang merupakan bagian suatu kebudayaan, yang dibentuk melalui pola pengasuhan orang tua, dan melakukan sosialisasi dengan lingkungan sosialnya. Dari perspektif tersebut dapat diambil tiga garis besar yakni:
1.      Bagian dari kebudayaan, anak berhadapan langsung dengan budaya yang diwariskan oleh nenek moyang melalui orang tua atau yang mengasuhnya. Anak yang diasuh oleh dua subyek (ayah-ibu) yang berlatar belakang budaya yang berbeda akan mempengaruhi budaya anak tersebut. inilah yang disebut dengan istilah asimilasi. Dimana budaya anak merupakan hasil bertemunya dua budaya yang berbeda.
2.      Pola pengasuhan yang dilakukan oleh kedua orang tua, bukan salah satu. Hal ini memungkinkan anak akan mempelajari ajaran atau perilaku atau tindakan atau apa yang disosialisasikan kedua orangtuanya sehingga sensor motoriknya memungkinkan ia untuk meniru apa yang disosialisasikan orangtuanya.
3.      Anak dipengaruhi oleh budaya yang ada di lingkungan sosial tempat ia bersosialisasi. Seorang anak bisa jadi diperngaruhi atau terpengaruh oleh kebudayaan dimana ia berada. Ini disebabkan karena proses sosialisasi yang terjadi pada anak semasa ia mempelajari kebudayaan dimana ia tinggal tergolong cukup lama sehingga memungkinkan ia melakukan proses kebudayaan atau tertanam dalam jiwanya nilai-nilai budaya dimana ia berada.

Anak akan mengetahui perannya dalam kehidupan bermasyarakat setelah ia melakukan sosialisasi, yaitu proses penanaman atau transfer kebiasaan atau nilai dan aturan dengan masyarakat dimana ia tinggal. Sedangkan mengenai kebudayaan perlu ia pelajari melalui enkulturasi, yaitu komunikasi budaya. Jika anak tidak mengalami sosialisasi dan/atau enkulturasi, maka ia tidak akan dapat berinteraksi sosial, ia tidak akan dapat melakukan tindakan sosial sesuai status dan peranannya serta kebudayaan masyarakat. Sosialisasi menekankan kepada pengambilan peran, sedangkan enkulturasi menekankan kepada pemerolehan kompetensi budaya.
Pembentukan karakter anak bergantung kepada bagaimana proses sosialisasi dan enkulturasi kebudayaan dimana ia berada, sehingga nantinya yang akan muncul adalah perbedaan karakter anak sesuai dengan kebudayaan dimana ia berada.

Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Sosialisasi diunduh pada 12 Juli 2013, 14:39 WIB.
http://toniannabil.wordpress.com/2013/02/22/8/ diunduh pada 9 Juli 2013, 12:49 WIB.
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Demokrasi Merupakan Isu Utama dalam Sistesis Magis Sosial di Jawa, Benarkah?


Menurut Budhy Munawar Rachman dalam artikel yang berjudul : Pergulatan Orang Jawa Menjadi Muslim yang diterbitkan oleh Kompas 13/4/14, bahwa sintesis mistis yang  ada di Jawa, isu utamanya adalah demokrasi. Yang berarti dalam perkara agama tergantung pada kehendak rakyat pada saat itu.
Menurut saya, penyebaran Islam di Jawa tidak terlepas dari struktur sosial dan proses sosial yang memungkinkan masuknya nilai-nilai Islam kepada masyarakat Jawa. Hal ini berkaitan dengan proses. Karena politik merupakan sebuah proses, masuknya nilai-nilai Islam dalam masyarakat Jawa dipengaruhi oleh efektifitas struktur sosial yang ada pada saat itu.
Masuknya unsur-unsur kebudayaan baru yang tidak terlepas dari peran pihak-pihak yang berada "diatas" masyarakatnya. Hal itu kan tidak terlepas dari proses, bagaimana cara mereka berupaya menyederhanakan unsur-unsur itu supaya mudah diterima masyarakat. Dalam kasus ini, peran pemerintah atau pihak yang berkuasa atau tokoh-tokoh yang dituakan atau yang dipercaya pada masyarakat Jawa pada masa itu mempengaruhi apakah masuknya nilai-nilai islam tersebut efektif dan bisa diterima di dalam masyarakat atau tidak.
Sedangkan terbaginya masyarakat Jawa menjadi kaum santri (putihan) dengan kaum abangan dilatarbelakangi oleh kebudayaan yang ada pada masyarakat itu. Jika melihat teori Clifford Gertz mengenai muslim di Jawa, yang disebut abangan adalah orang-orang yang berada di wilayah pedalaman yang menerima Islam sebagai identitas agamanya tetapi tidak menjalankan syariat agamanya dalam kehifupan sehari-hari. Hal ini berarti bahwa kuatnya kepercayaan masyarakat terhadap kepercayaan nenek moyangnya  mengakibatkan sulitnya Islam menjadi agamanya sepenuhnya. Strategi politik untuk menyampaikan nilai-nilai keagamaan pada masyarakat sederhana juga dianggap kurang berhasil sehingga menghasilkan dua kubu yang bertentangan tersebut. Dalam buku antropologi politik H.J.M Claessen, disinggung mengenai “demokrasi rakyat jelata”. Yakni kebebasan kecil dari sebuah sistem paksaan yang dikendalikan oleh penguasa namun orang tetap berpegang pada pendapatnya sendiri, dibawah bayang-bayang penguasa.
Sintesis mistik, dalam hal ini merupakan nilai yang mengakar pada masyarakat Jawa. Sehingga masuknya unsur-unsur religi baru agaknya sulit untuk disinkronisasikan dengan kebudayaan yang telah ada. Dalam menyiasati hal tersebut, penanaman nilai-nilai keagamaan di Jawa disampaikan dalam bentuk kesenian atau ditransmisikan dalam pemerintahan yang notabene lebih mudah diserap dan diakui oleh masyarakat lokal pada saat itu. Kesesuaian antara tujuan masuknya unsur-unsur keagamaan tersebut harus disesuaikan dengan nilai-nilai dan norma-norma yang ada pada masyarakat lokal.

Senin, 29 April 2013

Reflection Paper MKAT (Masyarakat dan Kebudayaan Asia Tenggara)


REFLECTION PAPER
Nama : Tari Purwanti
NPM  : 170510120038

Mengungkap Rahasia di Dataran Tinggi Asia Tenggara
Sebelum saya mendapat materi mengenai konflik antara negara dan etnik minoritas di dataran tinggi, bahkan saya tidak mengira bahwa ternyata ada masalah yang ditimbulkan dari kebijakan pemerintah mengenai perlindungan tanah dataran tinggi terhadap penduduk aslinya. Sampai akhirnya saya membaca buku “Control and Conflict in the Uplands”, dan beberapa senior turut membantu saya memahami apa yang sebenarnya terjadi dengan pengelolaan sumber daya di dataran tinggi yang kaitannya antara negara dan penduduk lokal. Dan itu merupakan sedikit support untuk saya dalam menyelami “apa yang selama ini tersembunyi” diantara pemerintah dengan etnis minoritas di dataran tinggi.
Mengapa saya memberikan judulMengungkap Rahasia di Dataran Tinggi Asia Tenggara” karena tenyata ada yang tersembunyi dibalik kebijakan pemerintah terhadap pengelolaan sumberdaya di dataran tinggi. Sebagai calon antropolog, saya diajak menjelajah ruang dan waktu di Asia Tenggara juga memahami konflik yang terjadi disana terkait pengawasan dan pengendalian sumber daya oleh negara.
Dalam buku Control and Conflict in The Uplands, dikemukakan disana mengenai beberapa suku yang hidup di dataran tinggi di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia, Filipina dan Vietnam membahas konflik yang terjadi pada masyarakat dengan negara terkait pengelolaan sumberdaya dan lain-lainnya. Untuk memahami buku ini, kami dibagi kedalam tiga kelompok besar untuk kemudian masing-masing kelompok harus mempresentasikan hasil diskusi mengenai negara di Asia Tenggara yang mana yang kami pelajari.
Monografi ini mencoba menjelaskan mengapa etnis minoritas secara bertahap kehilangan harta mereka atas sumber daya hutan meskipun pengakuan oleh masyarakat internasional atas hak-hak mereka untuk tanah air tradisional mereka, dan mengapa lingkungan terus memburuk meskipun masyarakat negara dan etnis berupaya untuk melestarikan itu. konflik bertahan antara negara dan masyarakat adat dalam konteks pengelolaan sumber daya alam melalui kasus-kasus di Indonesia, Filipina dan Vietnam. Studi kasus mengeksplorasi bagaimana ideologi dari sumber daya dan sumber daya sistem manajemen diterapkan dalam konteks sejarah, budaya, politik, dan ekonomi masing-masing dari tiga negara tersebut.
Dalam buku tersebut, pada chapter 2, Pak Rimbo Gunawan menjelaskan bagaimana upaya negara dalam konservasi telah menjauhkan fisik, budaya, dan ideologi kelompok etnik dari masyarakat Kasepuhan. Dia menggali konflik antara negara Indonesia dan Kasepuhan yang berasal dari gagasan mereka yang berbeda dan praktek pengelolaan hutan. Babnya meliputi diskusi tentang kebijakan deklarasi negara dan konservasi hutan sebagai taman nasional, seluk-beluk hubungan masyarakat Kasepuhan dengan hutan dalam bidang ekonomi dan budaya, dan efek dari deklarasi negara. Dalam bab ini dijelaskan bahwa hutan di Indonesia menghilang setiap tahunnya. Pemerintah Indonesia menggalakan konservasi lingkungan hutan dengan cara mengadakan kawasan lindung seperti taman nasional. Namun dengan diadakannya taman nasional ini justru mempengaruhi penduduk asli dengan dampak yang kurang baik, dimana penduduk asli kawasan tersebut harus pindah dan terpecah dari tempat tinggalnya.
Dalam bab 3, Gatmaytan mengeksplorasi perbedaan antara negara Filipina dan konstruksi etnis minoritas Manobo tentang "kemilikan bersama" sebagai sistem kepemilikan sumberdaya. Bertentangan dengan hukum, ia berpendapat bahwa sistem kepemilikan lahan Manobo adalah lebih individual daripada komunal. Perbedaan dalam konstruksi, ia menyarankan, yang disebabkan oleh penyederhanaan negara dan homogenisasi konfigurasi tenurial yang sebenarnya adalah tanah leluhur mereka. Diceritakan pula sejarah adanya masyarakat Manobo yang terbagi menjadi dua kebudayaan yaitu Palagsulat dan Palamgowan. Gatmaytan mengakhiri bab dengan mengaitkan kasus tersebut dalam bidang politik, kebijakan, dan implikasi hukum dari perbedaan-perbedaan ini. Bagaimana hukum dalam IPRA juga mengatur orang-orang Manobo dalam pengelolaan sumberdaya di dataran tinggi di Filipina yang akhirnya membatasi ruang para penduduk lokal dengan Undang-undangnya.
Dalam bab 4, To Xuan Phuc menggambarkan efek dari perubahan dalam tatanan politik Vietnam pada penggunaan sumber daya dan sistem manajemen negara. Setelah bertahun-tahun krisis, pemerintah mencari transformasi dari ekonomi negara yang menjalankan ke dalam ekonomi campuran dan masyarakat dengan pasar di bawah pengelolaan negara, secara resmi meluncurkan kebijakan Doi Moi pada tahun 1986. Di bawah rezim baru ini, negara telah memberikan minoritas etnis dan pengguna sumber daya lainnya dengan tanggung jawab baru dan peran dalam pengelolaan sumber daya yang dimaksudkan untuk mendorong keberlanjutannya sumber daya alam negara itu. To Xuan Phuc menanggapi respon Dao terhadap perubahan yang dibawa oleh kebijakan, dan usaha negara untuk menangani perubahan tersebut dengan merumuskan strategi nya, jika sama sekali, untuk melindungi kepentingannya.
Tema-tema yang dominan muncul dari ketiga studi kasus yang diambil dan dianalisis dalam bab terakhir. Hal ini mencerminkan pada kemenangan populisme lingkungan, kontradiksi ditempa oleh formulasi romantis praktek sumber daya masyarakat adat, realitas penetrasi pasar dari daerah pedalaman, dan tantangan menyeimbangkan pencarian keadilan dan kesepakatan yang adil bagi kaum minoritas etnis dataran tinggi dan kebutuhan untuk sampai pada langkah yang tepat untuk mengembangkan dan melestarikan lingkungan alam. Pada dasarnya, ketiga bab tersebut sama-sama menjelaskan bagaimana kebijakan negara terkait pengelolaan sumberdaya alam dan implikasinya terhadap hubungan antara masyarakat yang tinggal di dataran tinggi dengan lingkungan (power relations).
Seperti yang telah saya jelaskan pada reflection paper sebelumnya, ketika mempelajari pengawasan dan pengendalian di tanah tinggi atau dataran tinggi beserta konflik yang terdapat di dalamnya terkait pengawasan dan pengelolaan sumber daya, saya teringat akan artikel Pak Rimbo Gunawan yang berjudul “Ketika Pesona Dunia Mulai Memudar”. Dalam artikel tersebut diterangkan bahwa:
Dewasa ini, tekanan-tekanan terhadap hutan itu semakin kompleks dan berkaitan satu dengan yang lain: pertanian komoditas perdagangan yang berorientasi ekspor, marginalisasi sumber daya petani miskin, pembangunan infrastruktur, industrialisasi kehutanan seperti pembangunan hutan tanaman industri untuk memasok industri pulp dan kertas, penebang kayu komersial, baik yang legal maupun ilegal, dan sebagainya. Tekanan-tekanan itu terlihat dalam angka-angka dolar yang berhasil diraup dari eksploitasi hutan dan sumberdaya hutan yang mencapai US$4,53 miliar, atau kira-kira 16,68% dari seluruh jumlah ekspor nonmigas yang mencapai nilai US$27,15 miliar. Semua itu dilakukan atas nama pembangunan yang bertujuan untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan.
Saya setuju dengan artikel tersebut karena kutipan diatas menggambarkan bagaimana kawasan yang secara fisik potensial, dijadikan sebagai tempat rekreasi para turis dengan dalih “Mengembangkan potensi sumberdaya alam untuk meningkatkan kesejahteraan”. Apalagi dengan tambahan kalimat pada artikel tersebut: “...hijaunya hutan dipandang sebagai hijaunya dolar” semakin menjelaskan bahwa ternyata dataran tinggi yang indah dan potensial itu ternyata “tidak baik-baik saja”.
Solusi yang ditawarkan untuk meluruskan permasalahan ini agaknya kurang memadai, karena secara politis pemerintah memiliki kekuasaan atas penduduk lokal, dan penduduk lokal hanya bisa pasrah dalam menerima berbagai pasal yang ditujukan kepada mereka tanpa dapat melawan karena berkaitan dengan hukum publik.
Berdasarkan hal diatas dengan gamblangnya dijelaskan bahwa peran pemerintah tidak hanya sebagai pelindung bagi etnik minoritas di dataran tinggi, namun juga menjadi “pembatas” hubungan mereka dengan alam, dengan tanah leluhur mereka. Tentu sangat menarik jika dikaji lebih lanjut mengenai konflik antara negara dengan penduduk asli dataran tinggi terkait pengawasan dan pengelolaan sumberdaya alam.
Mempelajari antropologi berarti mempelajari manusia dalam segala aspek untuk mendapat suatu pemahaman menyeluruh mengenai manusia termasuk di dalamnya konflik dalam aspek sosial, ekonomi, dan politik dalam kehidupan manusia. Saya menyadari bahwa saya harus banyak belajar untuk dapat lebih baik dan lebih semangat lagi belajar di jurusan antropologi.


Rabu, 27 Maret 2013

Sistem Sosial Pada Masyarakat Batak Toba



Laporan Tugas Organisasi Sosial dan Kekerabatan
Nama     :Tari Purwanti
NPM      :170510120038

Dalam menjelaskan sistem perkawinan dan syarat-syarat perkawinan, tidak hanya menjelaskan tentang perkawinannya saja, namun nuga mencakup sejarah garis keturunan keluarga dan leluhur, yang semuanya penting untuk organisasi sosial. Berbagai macam kelompok keturunan-liage, klen, fratri, dan paruh (moiety) merupakan sarana yang luwes untuk memecahkan sejumlah masalah yang biasa dihadapi oleh masyarakat manusia. Sistem kekerabatan menentukan struktur kewajiban dan kepentingan para anggotanya (William A. Haviland, 1985).
Dalam buku Pokok-Pokok Antropologi Budaya, terdapat salah satu chapter yang menarik untuk dibahas, yaitu chapter IX yang berjudul Kerabat dan Bukan Kerabat yang ditulis oleh Edward Bruner. Dalam penelitiannya, ia mencoba mendefinikan orang Tapanuli dan Sumatera Utara dalam hubungan dengan proses penyesuaian yang dialami oleh orang Batak Toba ketika bermigrasi dari daerah asalnya ke kota besar. Bagaimana orang Batak Toba yang awalnya hanya berhubungan dengan orang asl satu suku dengan dia, dan kecuali beberapa stereotip mengenai golongan etnis lainnya seperti stereotip  mengenai orang Jawa, orang Minangkabau dan lain-lain, dia tidak mempunyai pengalaman bergaul dengan orang bukan Batak. Dalam situasi kota suatu sistem kategorisasi yang bermakna bagi orang Batak Toba itu perlu dibinanya, dan yang terjadi adalah membedakan semua orang dalam dua kelompok, yaitu “orang kita” dan “bukan orang kita”. “orang kita” yaitu orang Batak Toba, secara potensial adalah kaum kerabat, sehingga dua kelompok besar itu adalah orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat dan mereka diluar itu tidak ada kaitan kerabat dengan orang Batak Toba. Namun pada deskripsi ini kita tidak akan menyoroti bagian migrasinya, melainkan lebih kepada sistem perkawinannya.
Sebagai upaya untuk menandai kekerabatannya, semua orang Batak Toba membubuhkan nama marga bapanya di belakang nama kecilnya. Marga adalah kelompok kekerabatan yang meliputi orang-orang yang mempunyai kakek bersama, atau yang percaya bahwa mereka adalah keturunan dari seorang kakek bersama menurut perhitungan garis patrilineal (kebapaan). Anggota dari satu marga dilarang kawin; marga adlah kelompok yang eksogam. Jadi semua orang yang semarga adlah orang yang berkerabat, dan dengan orang yang lain merganya dapat juga dicari kaitan kekerabatan, karena mungkin saja dia mempunyai hubungan kekerabatan dengan saudaranya yang lain melalui hubungan perkawinan.
Kelompok inti dalam setiap desa Batak adalah sekelompok orang satu keturunan seorang kakek menurut garis keturunan bapa dan yang tinggal bersama di desa itu. Kelompok demikian merupakan sebuah unit sosial dasar, yang dalam antropologi disebut localized patrilineage, yang akan kita salin saja debagai bagian dari marga (submarga). Anggota-anggota dari kelompok submarga itu tentu ada yang telah berpindah kemana saja, akan tetapi mereka tetap mempertahankan haknya di kampung asalnya dan tetap mempunyai hak untuk kembali setiap waktu. Dalam kenyataan harta di desa itu lebih mempunyai nilai simbolis daripada nilai ekonomis. Bukan semua penghuni kampung termasuk warga keluarga utama kampung itu. Ada yang merupakan keluarga dari garis keturunan yang lebih jauh atau bahkan dari marga yang berlainan; yang lainnya adalah para pria yang menikahi gadis-gadis dari keluarga inti kampung itu dan mereka bermukim di desa isterinya. Biasanya cara bertempat tinggal matrilokal begitu bersifat sementara saja.
Di seluruh Tapanuli pada umunnya dapat dikatakan bahwa untuk kelompok  keturunan tertentu dapat dipastikan daerah asalnya. Setiap satuan kerabat keturunan satu kakek (submarga)tidak saja mendiami tempat yang telah tertentu, akan tetapi garis keturunan yang lebih besar seperti marga-marga eksogam yang disebutkan juga memiliki daerah asal yang tertentu, dengan memperhatikan  nama marga tertentu melalui penelusuran cabang garis keturunan patrilineal dengan penyebutan nama kakeknya, kebanyakan orang Batak bisa  menentukan tempat asal seseorang. Dalam alam pikiran orang Batak keturunan dan kampung asal saling berkaitan dan menjadi komponen inti dari sistem sosialnya.
Komponen inti lainnya adalah hubungan karena perkawinan. Setiap perkawinan orang Batak meletakkan dasar bagi hubungan yang permanen antara kelompok keturunan mempelai wanita, yaitu kelompok pemberi isteri atau hula-hula, dan kelompok keturunan mempelai lelaki, kelompok penerima isteri atau boru. Pemberi isteri mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dan secara sistematis pada berbagai upacara antara kedua kelompok itu terjadi pertukaran uang, barang, yaitu mempunyai nilai ekonomis maupun simbolis. Kelahiran, perkawinan, dan kematian dari keturunan pasangan suami isteri bersangkutan adalah peristiwa-peristiwa yang paling penting untuk mengadakan upacara dan pertukaran benda antara kelompok pemberi isteri dan kelompok penerima isteri terjadi pada waktu itu
Kalau menurut seorang Batak suatu perkawinannya berhasil, berdasarkan ukuran: banyaknya anak, kesehatan yang baik, umur panjang, serta kemakmuran ekonomis, atau kalau sekiranya ada alasan politis untuk melanjutkan hubungan antara kedua satuan kerabat itu, maka setiap usaha akan diadakan untuk memperbarui hubungan perkawinan itu pada generasi berikutnya. Hal itu akan dilakukan melalui perkawinan seorang anak laki-laki dengan anak perempuan saudara pria ibunya atau matrilateral cross cousin.
Kombinasi kelompok keturunan setempat (submarga) digabungkan dengan hubungan-hubungan pemberi dan penerima isteri menghasilkan suatu jaringan sistem kekerabatan yang menjalin semua orang Batak Toba. Setiap dua orang yang tepat bisa menelusuri hubungan kekerabatannya secara vertikan melalui garis keturunan dan secara horizontal melalui hubungan perkawinan. Upacara memasukkan ke dalam marga juga dilaksanakan bila seorang pria Batak yang pindah ke kota kawin dengan wanita Jawa, atau wanita Cina, atau wanita dari kelompok etnis manapun. Yang paling sering dilakukan adalah membawa isteri bukan Batak itu ke Tapanuli dan dia diterima menjadi puteri marga dari ibu suaminya, seolah-olah pria itu kawin dengan puteri saudara pria ibunya (matrilateral cross cousin). Semua orang desa Batak sadar bahwa Indonesia sebagai suatu bangsa terdiri dari golongan-golongan etnis yang berbeda-beda (suku bangsa) yang masing-masingnya memiliki adat-istiadatnya sendiri. Menurut pandangan orang Tanpanuli, golongan-golongan etnis dalam bangsa Indonesia itu dapat dibandingkan dengan kelompok-kelompok orang Batak Toba, berhubung semua sama asal-usulnya dan sama tempat asalnya, dan masing-masing memiliki logat dan adat yang berbeda (cf. Skinner, 1959).


Sumber:
Haviland, William A. 1985. Anthropology 4th edition. Dalam R. G. Soekadijo (ed), Antropologi edisi keempat. Jakarta: Erlangga.
Ihromi, T.O (editor). 1959. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia. IX: hlm.159-178.

Rabu, 13 Maret 2013

Masyarakat



Ketika pertama kali mendengar kata: “masyarakat”, otak saya langsung memberikan file berupa gambaran mengenai salah satu definisi masyarakat yang berbunyi: Masyarakat adalah sekelompok manusia yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan. Dengan jelas definisi tersebut menyatakan bahwa faktor yang membentuk sekelompok manusia menjadi masyarakat adalah sebagai berikut:
1.       Adanya sekelompok manusia
2.       Adanya wilayah sebagai tempat untuk hidup bersama
3.       Adanya interaksi antar warga masyarakat secara kontinyu, sehingga bisa menimbulkan suatu stratifikasi sosial guna mengatur warga masyarakat
4.       Kebudayaan terbentuk sebagai upaya untuk “survive” di alam
Kurang lebih seperti demikian yang bisa saya rumuskan. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa manusia adalah makhluk sosial sehingga akan selalu mengadakan interaksi dengan manusia lain sepanjang hidupnya. Ketika manusia hidup berkelompok, tentu proses interaksi antar manusia tersebut akan terus berjalan dan semakin lama semakin kompleks.
Dalam buku Pengantar Antropologi Koentjaraningrat, menurut ahli filsafat, lawan dari egoisme adalah altruisme. Asas altruisme ini berarti hidup berbakti bagi kepentingan yang lain. Asas ini memungkinkan terjadinya interaksi dan saling tolong menolong antar manusia yang hidup di wilayah yang sama tadi. Hasil dari altruisme adalah adanya hubungan yang kuat antar warga manusia yang membentuk masyarakat.
Selanjutnya, jika altruisme telah membentuk sikap saling menghargai dan tolong – menolong, lalu membentuk kekeluargaan antar individu masyarakat, maka masyarakat akan mengkultuskan salah seorang individu yang dipercaya untuk memimpin kelompoknya. Cara pengangkatan individu untuk menjadi pemimpin kelompok berbeda-beda antar masyarakat di wilayah yang satu dengan wilayah yang lain. Misalnya saja ada yang karena telah mengadakan pesta yang paling meriah seperti Big Man di Papua, atau karena kepercayaan bahwa orang yang ditunjuk dapat menjaga kelangsungan hidup kelompoknya.
Setelah pemimpin ditentukan, pemimpin ini akan menentukan pembagian kerja yang tepat bagi seluruh warga masyarakatnya. Lalu muncullah nilai dan norma sosial termasuk pranata sosial. Kontak sosial dan komunikasi sosial terjalin semakin dekat diantara warga masyarakat. Sebagai upaya bertahan diri di alam, selama hidupnya mereka akan melakukan suatu atau beberapa hal secara kontinyu yang kemudian kita kenali dengan istilah budaya. Kemudian kebudayaan tersebut diajarkan kepada keturunannya sehingga kebudayaan tersebut berlangsung secara berkesinambungan dan turun-temurun, kemudian menjadi identitas khas kelompok atau masyarakat. Budaya antar masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain memiliki perbedaan. Namun mungkin ada pula kebudayaan yang sama akibat pengaruh lain-lain.


Rabu, 27 Februari 2013

BROKEN (cerpenku saat di SMA)



Rintik hujan satu persatu turun basahi bumi. Dalam keheningan malam, hanya suara hujan dan lagu ‘Hurt’ dari Christina Aguilera yang menemani sepiku. Kuraih boneka teddy bear yang sedari tadi kuperhatikan. Boneka pemberiannya, batinku. Tenggorokanku sakit menahan tangis yang ingin membuncah keluar. Menelan ludahpun perih. Sungguh, berat rasanya harus berpisah dengan orang yang kita sayangi, yang selalu ada untuk  kita meski dalam keadaan sibuk, yang mengganti tangis kita dengan senyum, menghapus air mata saat kita menangis, dan mendukung kita saat kita butuh dorongan.
Dia..
Pacarku.
Ya, hingga malam ini, dia masih pacarku. Mungkin tidak untuk esok. Aku lelah harus terus membohongi orang tua. Memang, hubungan kami selama hampir lima bulan ini sembunyi-sembunyi dari orang tua. Aku dan dia sama-sama belum siap untuk mengatakannya kepada orang tua kami masing-masing. Yah, aku takut orang tua kami akan memarahi kami.
         Tidak tahu berapa lama kupandangi boneka teddy bear itu, dan berapa butir air mataku yang menetes. Ya Allah, apapun keputusannya besok, itulah jalan yang terbaik yang Kau pilihkan. Mataku mengedip, dan kurasakan air mataku kian mengalir membasahi pipi. Aku mendesah. Ingatan-ingatan tentangnya berlarian dipikiranku. Waktu-waktu yang telah kami lewati bersama, cafe dan resto yang sering kami kunjungi, bioskop favorit yang menjadi tempat tongkrongan kami. Ya, itu semua akan menjadi saksi bisu perjalanan kami selama lima bulan ini.
         Memang, aku tidak pernah mengerti tentang cinta, yang kurasakan adalah aku senang bila sedang bersamanya, aku merasa kehilangan saat dia tidak ada, cemburu saat melihatnya bersama wanita lain, khawatir dan cemas saat ia sakit, dan rindu saat tak bertemu. Apa itu cinta? Aku tidak tahu, dan kubiarkan rasa ini mengalir begitu saja mewarnai ruang rinduku.
Kudekap boneka teddy bear itu, dan akhirnya terlelap.
         Keesokan harinya, aku datang terlambat ke sekolah. Sedang Rezky, pacarku, sudah menunggu di sekolah. “kamu mau ngomong apa?” tanyanya ketika kami bertemu di koridor menuju kelasku. “bentar ya, aku simpen tas dulu” setengah berlari, kutuju kelasku dan meninggalkan dia sendiri di belakang.
         Sejurus kemudian, dia sudah berdiri menungguku di depan kelas. “kamu mau ngomong apa?” pertanyaan yang sama. Kujelaskan segala keresahanku, dan semua yang membebani pikiranku beberapa minggu terakhir. Air muka kesedihan terlihat jelas di wajah kami. Antara keinginan untuk tetap bertahan dan keresahan kami menjalani hubungan tersembunyi ini. Terlebih, kami takut kepada Allah bila kami tetap berpacaran. Rezky hanya menarik napas panjang berulang kali tanpa menanggapi pernyataanku. Kututup penjelasanku denegan pertanyaan: “jadi menurut kamu kita baiknya sekarang?” dia hanya diam, dan kemudian menghela napas panjang. Lagi.
         Aku semakin bingung, tak tahu apa yang harus kuperbuat. “Gimana kalo kita temenan aja?” itulah pertanyaan yang berhasil keluar dari mulutnya. Tentu saja pertanyaan itu membuatku terperangah. Duh Allahku, andai saja ada jalan lain selain harus mengakhiri hubunganku dengannya, batinku. Ya, aku adalah seorang muslim, dan sudah seharusnya menerima hukum Allah dengan keseluruhan, tidak setengah-setengah.
         Meski aku tak ingin, tapi harus kulakukan. Dan sejak detik itu, kami resmi mengakhiri hubungan pacaran kami. Aku bingung harus bahagia atau sedih.. ini cukup sakit, tapi ini juga demi membebaskan kami berdua dari keresahan kami. “Kamu jangan nangis...” pintanya. Ah, tentu saja dia tahu mataku hampir berair. “Enggak ! tuh liat mataku ! ga nangis kan?” aku mencoba meyakinkannya. Bellpun berbunyi. “kamu janji yah sama aku, kamu ga akan nangis” pintanya lagi seraya bangkit dari duduknya. Dia masih berdiri memperhatikanku. “Iya, aku gapapa. Demi kebaikan kita” aku tersenyum. Kuperhatikan langkahnya yang mulai berjalan menjauhiju. Ya Allah, inilah jalan terbaik yang kau pilihkan.
         Badanku gemetaran. Kuhampiri bangkuku dan membuncahkan tangis disana. “Kenapa Ra?” Dina, teman sebangkuku bertanya sambil mengelus bahuku pelan.. “Aku....” lalu kugerakkan kedua jari tangaku membentuk kail yang berhubungan seperti rantai, lalu kupisahkan pelan mencoba mengisyaratkan kepadanya bahwa hubunganku telah berakhir. Ya Allah... padahal tadi aku sudah berjanji pada Rezky bahwa aku tidak akan menangis. “Tenang Zahra, yang kamu pilih bukan jalan cinta, namun jalan ridha Allah. Gak masalah kalo kamu ngerasa kehilangan tadi, tapi jangan dibiarkan berlarut-larut. Kita bebas  mencintai kok, asal tidak lantas mengalahkan cinta kita kepada Allah” Dina mengingatkanku dengan dihiasi senyum yang membuatku tenang. Yah, Dina benar. Aku memang payah dalam hal ini. Aku seharusnya tidak menangis. Beberapa menit kemudian, pelajanpun dimulai.
         Sepulang sekolah, rasanya ingin segera saja pulang ke rumah. Ku tunggu ayah yang biasanya menjemput. “Zahra !!” seseorang memanggilku. “Apa?” tanyaku.
“mau pulang?” tanyanya sambil menggiring motornya menhgampiriku.
“iya”
“Kemana pulangnya?”
“Ke arah sana,” jawabku sambil menunjukkan arah.
“yaudah bareng aja sekalian.”
“Oh... emang kamu mau kemana?”
         Pertanyaanku tidak dijawab. Ia malah memintaku segera naik ke motornya. “Kamu mau kemana Rand?” Randy tetap tidak menjawab. Akhirnya aku diam. Apalagi dia. Tiba di depan rumahku, aku memintanya berhenti. Dia diam, mungkin menungguku berbicara. “makasih ya” Dia hanya tersenyum, lantas membalikkan motornya, lalu pergi.
         Tiba di rumah, tidak ada siapa-siapa. Aku langsung ke kamarku. Entah mengapa tubuhku terasa begitu lemas. Tibs-tiba handphoneku berdering. RANDY.
“Hallo Rand?”
“Hallo Ra”
“Ada apa?”
“Ga ada, cuma penger suara kamu”
“maksudnya?”
Tuuut.. tuuut.. tuuut..  telepon dimatikan dari seberang. Ada apa dengan si Randy ini?? Ah, sudahlah, tidak ada gunanya memikirkan anak aneh seperti dia.