Laporan Tugas Organisasi Sosial dan Kekerabatan
Nama :Tari
Purwanti
NPM :170510120038
Dalam menjelaskan sistem perkawinan dan syarat-syarat
perkawinan, tidak hanya menjelaskan tentang perkawinannya saja, namun nuga
mencakup sejarah garis keturunan keluarga dan leluhur, yang semuanya penting
untuk organisasi sosial. Berbagai macam kelompok keturunan-liage, klen, fratri,
dan paruh (moiety) merupakan sarana yang luwes untuk memecahkan sejumlah
masalah yang biasa dihadapi oleh masyarakat manusia. Sistem kekerabatan
menentukan struktur kewajiban dan kepentingan para anggotanya (William A.
Haviland, 1985).
Dalam buku Pokok-Pokok Antropologi Budaya, terdapat salah
satu chapter yang menarik untuk dibahas, yaitu chapter IX yang berjudul Kerabat
dan Bukan Kerabat yang ditulis oleh Edward Bruner. Dalam penelitiannya, ia
mencoba mendefinikan orang Tapanuli dan Sumatera Utara dalam hubungan dengan
proses penyesuaian yang dialami oleh orang Batak Toba ketika bermigrasi dari daerah
asalnya ke kota besar. Bagaimana orang Batak Toba yang awalnya hanya
berhubungan dengan orang asl satu suku dengan dia, dan kecuali beberapa
stereotip mengenai golongan etnis lainnya seperti stereotip mengenai orang Jawa, orang Minangkabau dan
lain-lain, dia tidak mempunyai pengalaman bergaul dengan orang bukan Batak. Dalam
situasi kota suatu sistem kategorisasi yang bermakna bagi orang Batak Toba itu
perlu dibinanya, dan yang terjadi adalah membedakan semua orang dalam dua
kelompok, yaitu “orang kita” dan “bukan orang kita”. “orang kita” yaitu orang
Batak Toba, secara potensial adalah kaum kerabat, sehingga dua kelompok besar
itu adalah orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat dan mereka diluar itu
tidak ada kaitan kerabat dengan orang Batak Toba. Namun pada deskripsi ini kita
tidak akan menyoroti bagian migrasinya, melainkan lebih kepada sistem
perkawinannya.
Sebagai upaya untuk menandai kekerabatannya, semua orang
Batak Toba membubuhkan nama marga bapanya di belakang nama kecilnya. Marga
adalah kelompok kekerabatan yang meliputi orang-orang yang mempunyai kakek
bersama, atau yang percaya bahwa mereka adalah keturunan dari seorang kakek
bersama menurut perhitungan garis patrilineal (kebapaan). Anggota dari satu
marga dilarang kawin; marga adlah kelompok yang eksogam. Jadi semua orang yang
semarga adlah orang yang berkerabat, dan dengan orang yang lain merganya dapat
juga dicari kaitan kekerabatan, karena mungkin saja dia mempunyai hubungan
kekerabatan dengan saudaranya yang lain melalui hubungan perkawinan.
Kelompok inti dalam setiap desa Batak adalah sekelompok orang
satu keturunan seorang kakek menurut garis keturunan bapa dan yang tinggal
bersama di desa itu. Kelompok demikian merupakan sebuah unit sosial dasar, yang
dalam antropologi disebut localized patrilineage, yang akan kita salin
saja debagai bagian dari marga (submarga). Anggota-anggota dari kelompok
submarga itu tentu ada yang telah berpindah kemana saja, akan tetapi mereka
tetap mempertahankan haknya di kampung asalnya dan tetap mempunyai hak untuk
kembali setiap waktu. Dalam kenyataan harta di desa itu lebih mempunyai nilai
simbolis daripada nilai ekonomis. Bukan semua penghuni kampung termasuk warga
keluarga utama kampung itu. Ada yang merupakan keluarga dari garis keturunan
yang lebih jauh atau bahkan dari marga yang berlainan; yang lainnya adalah para
pria yang menikahi gadis-gadis dari keluarga inti kampung itu dan mereka
bermukim di desa isterinya. Biasanya cara bertempat tinggal matrilokal begitu
bersifat sementara saja.
Di seluruh Tapanuli pada umunnya dapat dikatakan bahwa untuk
kelompok keturunan tertentu dapat
dipastikan daerah asalnya. Setiap satuan kerabat keturunan satu kakek
(submarga)tidak saja mendiami tempat yang telah tertentu, akan tetapi garis
keturunan yang lebih besar seperti marga-marga eksogam yang disebutkan juga
memiliki daerah asal yang tertentu, dengan memperhatikan nama marga tertentu melalui penelusuran
cabang garis keturunan patrilineal dengan penyebutan nama kakeknya, kebanyakan
orang Batak bisa menentukan tempat asal
seseorang. Dalam alam pikiran orang Batak keturunan dan kampung asal saling
berkaitan dan menjadi komponen inti dari sistem sosialnya.
Komponen inti lainnya adalah hubungan karena perkawinan.
Setiap perkawinan orang Batak meletakkan dasar bagi hubungan yang permanen
antara kelompok keturunan mempelai wanita, yaitu kelompok pemberi isteri atau hula-hula,
dan kelompok keturunan mempelai lelaki, kelompok penerima isteri atau boru.
Pemberi isteri mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dan secara sistematis pada
berbagai upacara antara kedua kelompok itu terjadi pertukaran uang, barang,
yaitu mempunyai nilai ekonomis maupun simbolis. Kelahiran, perkawinan, dan kematian
dari keturunan pasangan suami isteri bersangkutan adalah peristiwa-peristiwa
yang paling penting untuk mengadakan upacara dan pertukaran benda antara
kelompok pemberi isteri dan kelompok penerima isteri terjadi pada waktu itu
Kalau menurut seorang Batak suatu perkawinannya berhasil,
berdasarkan ukuran: banyaknya anak, kesehatan yang baik, umur panjang, serta
kemakmuran ekonomis, atau kalau sekiranya ada alasan politis untuk melanjutkan
hubungan antara kedua satuan kerabat itu, maka setiap usaha akan diadakan untuk
memperbarui hubungan perkawinan itu pada generasi berikutnya. Hal itu akan
dilakukan melalui perkawinan seorang anak laki-laki dengan anak perempuan
saudara pria ibunya atau matrilateral cross cousin.
Kombinasi kelompok keturunan setempat
(submarga) digabungkan dengan hubungan-hubungan pemberi dan penerima isteri
menghasilkan suatu jaringan sistem kekerabatan yang menjalin semua orang Batak
Toba. Setiap dua orang yang tepat bisa menelusuri hubungan kekerabatannya
secara vertikan melalui garis keturunan dan secara horizontal melalui hubungan
perkawinan. Upacara memasukkan ke dalam marga juga dilaksanakan bila seorang
pria Batak yang pindah ke kota kawin dengan wanita Jawa, atau wanita Cina, atau
wanita dari kelompok etnis manapun. Yang paling sering dilakukan adalah membawa
isteri bukan Batak itu ke Tapanuli dan dia diterima menjadi puteri marga dari
ibu suaminya, seolah-olah pria itu kawin dengan puteri saudara pria ibunya (matrilateral
cross cousin). Semua orang desa Batak sadar bahwa Indonesia sebagai suatu
bangsa terdiri dari golongan-golongan etnis yang berbeda-beda (suku bangsa)
yang masing-masingnya memiliki adat-istiadatnya sendiri. Menurut pandangan
orang Tanpanuli, golongan-golongan etnis dalam bangsa Indonesia itu dapat
dibandingkan dengan kelompok-kelompok orang Batak Toba, berhubung semua sama
asal-usulnya dan sama tempat asalnya, dan masing-masing memiliki logat dan adat
yang berbeda (cf. Skinner, 1959).
Sumber:
Haviland, William A. 1985. Anthropology 4th edition.
Dalam R. G. Soekadijo (ed), Antropologi edisi keempat. Jakarta: Erlangga.
Ihromi, T.O (editor). 1959. Pokok-pokok Antropologi Budaya.
Jakarta: Gramedia. IX: hlm.159-178.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar