Cari Blog Ini

Rabu, 27 Maret 2013

Sistem Sosial Pada Masyarakat Batak Toba



Laporan Tugas Organisasi Sosial dan Kekerabatan
Nama     :Tari Purwanti
NPM      :170510120038

Dalam menjelaskan sistem perkawinan dan syarat-syarat perkawinan, tidak hanya menjelaskan tentang perkawinannya saja, namun nuga mencakup sejarah garis keturunan keluarga dan leluhur, yang semuanya penting untuk organisasi sosial. Berbagai macam kelompok keturunan-liage, klen, fratri, dan paruh (moiety) merupakan sarana yang luwes untuk memecahkan sejumlah masalah yang biasa dihadapi oleh masyarakat manusia. Sistem kekerabatan menentukan struktur kewajiban dan kepentingan para anggotanya (William A. Haviland, 1985).
Dalam buku Pokok-Pokok Antropologi Budaya, terdapat salah satu chapter yang menarik untuk dibahas, yaitu chapter IX yang berjudul Kerabat dan Bukan Kerabat yang ditulis oleh Edward Bruner. Dalam penelitiannya, ia mencoba mendefinikan orang Tapanuli dan Sumatera Utara dalam hubungan dengan proses penyesuaian yang dialami oleh orang Batak Toba ketika bermigrasi dari daerah asalnya ke kota besar. Bagaimana orang Batak Toba yang awalnya hanya berhubungan dengan orang asl satu suku dengan dia, dan kecuali beberapa stereotip mengenai golongan etnis lainnya seperti stereotip  mengenai orang Jawa, orang Minangkabau dan lain-lain, dia tidak mempunyai pengalaman bergaul dengan orang bukan Batak. Dalam situasi kota suatu sistem kategorisasi yang bermakna bagi orang Batak Toba itu perlu dibinanya, dan yang terjadi adalah membedakan semua orang dalam dua kelompok, yaitu “orang kita” dan “bukan orang kita”. “orang kita” yaitu orang Batak Toba, secara potensial adalah kaum kerabat, sehingga dua kelompok besar itu adalah orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat dan mereka diluar itu tidak ada kaitan kerabat dengan orang Batak Toba. Namun pada deskripsi ini kita tidak akan menyoroti bagian migrasinya, melainkan lebih kepada sistem perkawinannya.
Sebagai upaya untuk menandai kekerabatannya, semua orang Batak Toba membubuhkan nama marga bapanya di belakang nama kecilnya. Marga adalah kelompok kekerabatan yang meliputi orang-orang yang mempunyai kakek bersama, atau yang percaya bahwa mereka adalah keturunan dari seorang kakek bersama menurut perhitungan garis patrilineal (kebapaan). Anggota dari satu marga dilarang kawin; marga adlah kelompok yang eksogam. Jadi semua orang yang semarga adlah orang yang berkerabat, dan dengan orang yang lain merganya dapat juga dicari kaitan kekerabatan, karena mungkin saja dia mempunyai hubungan kekerabatan dengan saudaranya yang lain melalui hubungan perkawinan.
Kelompok inti dalam setiap desa Batak adalah sekelompok orang satu keturunan seorang kakek menurut garis keturunan bapa dan yang tinggal bersama di desa itu. Kelompok demikian merupakan sebuah unit sosial dasar, yang dalam antropologi disebut localized patrilineage, yang akan kita salin saja debagai bagian dari marga (submarga). Anggota-anggota dari kelompok submarga itu tentu ada yang telah berpindah kemana saja, akan tetapi mereka tetap mempertahankan haknya di kampung asalnya dan tetap mempunyai hak untuk kembali setiap waktu. Dalam kenyataan harta di desa itu lebih mempunyai nilai simbolis daripada nilai ekonomis. Bukan semua penghuni kampung termasuk warga keluarga utama kampung itu. Ada yang merupakan keluarga dari garis keturunan yang lebih jauh atau bahkan dari marga yang berlainan; yang lainnya adalah para pria yang menikahi gadis-gadis dari keluarga inti kampung itu dan mereka bermukim di desa isterinya. Biasanya cara bertempat tinggal matrilokal begitu bersifat sementara saja.
Di seluruh Tapanuli pada umunnya dapat dikatakan bahwa untuk kelompok  keturunan tertentu dapat dipastikan daerah asalnya. Setiap satuan kerabat keturunan satu kakek (submarga)tidak saja mendiami tempat yang telah tertentu, akan tetapi garis keturunan yang lebih besar seperti marga-marga eksogam yang disebutkan juga memiliki daerah asal yang tertentu, dengan memperhatikan  nama marga tertentu melalui penelusuran cabang garis keturunan patrilineal dengan penyebutan nama kakeknya, kebanyakan orang Batak bisa  menentukan tempat asal seseorang. Dalam alam pikiran orang Batak keturunan dan kampung asal saling berkaitan dan menjadi komponen inti dari sistem sosialnya.
Komponen inti lainnya adalah hubungan karena perkawinan. Setiap perkawinan orang Batak meletakkan dasar bagi hubungan yang permanen antara kelompok keturunan mempelai wanita, yaitu kelompok pemberi isteri atau hula-hula, dan kelompok keturunan mempelai lelaki, kelompok penerima isteri atau boru. Pemberi isteri mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dan secara sistematis pada berbagai upacara antara kedua kelompok itu terjadi pertukaran uang, barang, yaitu mempunyai nilai ekonomis maupun simbolis. Kelahiran, perkawinan, dan kematian dari keturunan pasangan suami isteri bersangkutan adalah peristiwa-peristiwa yang paling penting untuk mengadakan upacara dan pertukaran benda antara kelompok pemberi isteri dan kelompok penerima isteri terjadi pada waktu itu
Kalau menurut seorang Batak suatu perkawinannya berhasil, berdasarkan ukuran: banyaknya anak, kesehatan yang baik, umur panjang, serta kemakmuran ekonomis, atau kalau sekiranya ada alasan politis untuk melanjutkan hubungan antara kedua satuan kerabat itu, maka setiap usaha akan diadakan untuk memperbarui hubungan perkawinan itu pada generasi berikutnya. Hal itu akan dilakukan melalui perkawinan seorang anak laki-laki dengan anak perempuan saudara pria ibunya atau matrilateral cross cousin.
Kombinasi kelompok keturunan setempat (submarga) digabungkan dengan hubungan-hubungan pemberi dan penerima isteri menghasilkan suatu jaringan sistem kekerabatan yang menjalin semua orang Batak Toba. Setiap dua orang yang tepat bisa menelusuri hubungan kekerabatannya secara vertikan melalui garis keturunan dan secara horizontal melalui hubungan perkawinan. Upacara memasukkan ke dalam marga juga dilaksanakan bila seorang pria Batak yang pindah ke kota kawin dengan wanita Jawa, atau wanita Cina, atau wanita dari kelompok etnis manapun. Yang paling sering dilakukan adalah membawa isteri bukan Batak itu ke Tapanuli dan dia diterima menjadi puteri marga dari ibu suaminya, seolah-olah pria itu kawin dengan puteri saudara pria ibunya (matrilateral cross cousin). Semua orang desa Batak sadar bahwa Indonesia sebagai suatu bangsa terdiri dari golongan-golongan etnis yang berbeda-beda (suku bangsa) yang masing-masingnya memiliki adat-istiadatnya sendiri. Menurut pandangan orang Tanpanuli, golongan-golongan etnis dalam bangsa Indonesia itu dapat dibandingkan dengan kelompok-kelompok orang Batak Toba, berhubung semua sama asal-usulnya dan sama tempat asalnya, dan masing-masing memiliki logat dan adat yang berbeda (cf. Skinner, 1959).


Sumber:
Haviland, William A. 1985. Anthropology 4th edition. Dalam R. G. Soekadijo (ed), Antropologi edisi keempat. Jakarta: Erlangga.
Ihromi, T.O (editor). 1959. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia. IX: hlm.159-178.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar