Cari Blog Ini

Senin, 29 April 2013

Reflection Paper MKAT (Masyarakat dan Kebudayaan Asia Tenggara)


REFLECTION PAPER
Nama : Tari Purwanti
NPM  : 170510120038

Mengungkap Rahasia di Dataran Tinggi Asia Tenggara
Sebelum saya mendapat materi mengenai konflik antara negara dan etnik minoritas di dataran tinggi, bahkan saya tidak mengira bahwa ternyata ada masalah yang ditimbulkan dari kebijakan pemerintah mengenai perlindungan tanah dataran tinggi terhadap penduduk aslinya. Sampai akhirnya saya membaca buku “Control and Conflict in the Uplands”, dan beberapa senior turut membantu saya memahami apa yang sebenarnya terjadi dengan pengelolaan sumber daya di dataran tinggi yang kaitannya antara negara dan penduduk lokal. Dan itu merupakan sedikit support untuk saya dalam menyelami “apa yang selama ini tersembunyi” diantara pemerintah dengan etnis minoritas di dataran tinggi.
Mengapa saya memberikan judulMengungkap Rahasia di Dataran Tinggi Asia Tenggara” karena tenyata ada yang tersembunyi dibalik kebijakan pemerintah terhadap pengelolaan sumberdaya di dataran tinggi. Sebagai calon antropolog, saya diajak menjelajah ruang dan waktu di Asia Tenggara juga memahami konflik yang terjadi disana terkait pengawasan dan pengendalian sumber daya oleh negara.
Dalam buku Control and Conflict in The Uplands, dikemukakan disana mengenai beberapa suku yang hidup di dataran tinggi di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia, Filipina dan Vietnam membahas konflik yang terjadi pada masyarakat dengan negara terkait pengelolaan sumberdaya dan lain-lainnya. Untuk memahami buku ini, kami dibagi kedalam tiga kelompok besar untuk kemudian masing-masing kelompok harus mempresentasikan hasil diskusi mengenai negara di Asia Tenggara yang mana yang kami pelajari.
Monografi ini mencoba menjelaskan mengapa etnis minoritas secara bertahap kehilangan harta mereka atas sumber daya hutan meskipun pengakuan oleh masyarakat internasional atas hak-hak mereka untuk tanah air tradisional mereka, dan mengapa lingkungan terus memburuk meskipun masyarakat negara dan etnis berupaya untuk melestarikan itu. konflik bertahan antara negara dan masyarakat adat dalam konteks pengelolaan sumber daya alam melalui kasus-kasus di Indonesia, Filipina dan Vietnam. Studi kasus mengeksplorasi bagaimana ideologi dari sumber daya dan sumber daya sistem manajemen diterapkan dalam konteks sejarah, budaya, politik, dan ekonomi masing-masing dari tiga negara tersebut.
Dalam buku tersebut, pada chapter 2, Pak Rimbo Gunawan menjelaskan bagaimana upaya negara dalam konservasi telah menjauhkan fisik, budaya, dan ideologi kelompok etnik dari masyarakat Kasepuhan. Dia menggali konflik antara negara Indonesia dan Kasepuhan yang berasal dari gagasan mereka yang berbeda dan praktek pengelolaan hutan. Babnya meliputi diskusi tentang kebijakan deklarasi negara dan konservasi hutan sebagai taman nasional, seluk-beluk hubungan masyarakat Kasepuhan dengan hutan dalam bidang ekonomi dan budaya, dan efek dari deklarasi negara. Dalam bab ini dijelaskan bahwa hutan di Indonesia menghilang setiap tahunnya. Pemerintah Indonesia menggalakan konservasi lingkungan hutan dengan cara mengadakan kawasan lindung seperti taman nasional. Namun dengan diadakannya taman nasional ini justru mempengaruhi penduduk asli dengan dampak yang kurang baik, dimana penduduk asli kawasan tersebut harus pindah dan terpecah dari tempat tinggalnya.
Dalam bab 3, Gatmaytan mengeksplorasi perbedaan antara negara Filipina dan konstruksi etnis minoritas Manobo tentang "kemilikan bersama" sebagai sistem kepemilikan sumberdaya. Bertentangan dengan hukum, ia berpendapat bahwa sistem kepemilikan lahan Manobo adalah lebih individual daripada komunal. Perbedaan dalam konstruksi, ia menyarankan, yang disebabkan oleh penyederhanaan negara dan homogenisasi konfigurasi tenurial yang sebenarnya adalah tanah leluhur mereka. Diceritakan pula sejarah adanya masyarakat Manobo yang terbagi menjadi dua kebudayaan yaitu Palagsulat dan Palamgowan. Gatmaytan mengakhiri bab dengan mengaitkan kasus tersebut dalam bidang politik, kebijakan, dan implikasi hukum dari perbedaan-perbedaan ini. Bagaimana hukum dalam IPRA juga mengatur orang-orang Manobo dalam pengelolaan sumberdaya di dataran tinggi di Filipina yang akhirnya membatasi ruang para penduduk lokal dengan Undang-undangnya.
Dalam bab 4, To Xuan Phuc menggambarkan efek dari perubahan dalam tatanan politik Vietnam pada penggunaan sumber daya dan sistem manajemen negara. Setelah bertahun-tahun krisis, pemerintah mencari transformasi dari ekonomi negara yang menjalankan ke dalam ekonomi campuran dan masyarakat dengan pasar di bawah pengelolaan negara, secara resmi meluncurkan kebijakan Doi Moi pada tahun 1986. Di bawah rezim baru ini, negara telah memberikan minoritas etnis dan pengguna sumber daya lainnya dengan tanggung jawab baru dan peran dalam pengelolaan sumber daya yang dimaksudkan untuk mendorong keberlanjutannya sumber daya alam negara itu. To Xuan Phuc menanggapi respon Dao terhadap perubahan yang dibawa oleh kebijakan, dan usaha negara untuk menangani perubahan tersebut dengan merumuskan strategi nya, jika sama sekali, untuk melindungi kepentingannya.
Tema-tema yang dominan muncul dari ketiga studi kasus yang diambil dan dianalisis dalam bab terakhir. Hal ini mencerminkan pada kemenangan populisme lingkungan, kontradiksi ditempa oleh formulasi romantis praktek sumber daya masyarakat adat, realitas penetrasi pasar dari daerah pedalaman, dan tantangan menyeimbangkan pencarian keadilan dan kesepakatan yang adil bagi kaum minoritas etnis dataran tinggi dan kebutuhan untuk sampai pada langkah yang tepat untuk mengembangkan dan melestarikan lingkungan alam. Pada dasarnya, ketiga bab tersebut sama-sama menjelaskan bagaimana kebijakan negara terkait pengelolaan sumberdaya alam dan implikasinya terhadap hubungan antara masyarakat yang tinggal di dataran tinggi dengan lingkungan (power relations).
Seperti yang telah saya jelaskan pada reflection paper sebelumnya, ketika mempelajari pengawasan dan pengendalian di tanah tinggi atau dataran tinggi beserta konflik yang terdapat di dalamnya terkait pengawasan dan pengelolaan sumber daya, saya teringat akan artikel Pak Rimbo Gunawan yang berjudul “Ketika Pesona Dunia Mulai Memudar”. Dalam artikel tersebut diterangkan bahwa:
Dewasa ini, tekanan-tekanan terhadap hutan itu semakin kompleks dan berkaitan satu dengan yang lain: pertanian komoditas perdagangan yang berorientasi ekspor, marginalisasi sumber daya petani miskin, pembangunan infrastruktur, industrialisasi kehutanan seperti pembangunan hutan tanaman industri untuk memasok industri pulp dan kertas, penebang kayu komersial, baik yang legal maupun ilegal, dan sebagainya. Tekanan-tekanan itu terlihat dalam angka-angka dolar yang berhasil diraup dari eksploitasi hutan dan sumberdaya hutan yang mencapai US$4,53 miliar, atau kira-kira 16,68% dari seluruh jumlah ekspor nonmigas yang mencapai nilai US$27,15 miliar. Semua itu dilakukan atas nama pembangunan yang bertujuan untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan.
Saya setuju dengan artikel tersebut karena kutipan diatas menggambarkan bagaimana kawasan yang secara fisik potensial, dijadikan sebagai tempat rekreasi para turis dengan dalih “Mengembangkan potensi sumberdaya alam untuk meningkatkan kesejahteraan”. Apalagi dengan tambahan kalimat pada artikel tersebut: “...hijaunya hutan dipandang sebagai hijaunya dolar” semakin menjelaskan bahwa ternyata dataran tinggi yang indah dan potensial itu ternyata “tidak baik-baik saja”.
Solusi yang ditawarkan untuk meluruskan permasalahan ini agaknya kurang memadai, karena secara politis pemerintah memiliki kekuasaan atas penduduk lokal, dan penduduk lokal hanya bisa pasrah dalam menerima berbagai pasal yang ditujukan kepada mereka tanpa dapat melawan karena berkaitan dengan hukum publik.
Berdasarkan hal diatas dengan gamblangnya dijelaskan bahwa peran pemerintah tidak hanya sebagai pelindung bagi etnik minoritas di dataran tinggi, namun juga menjadi “pembatas” hubungan mereka dengan alam, dengan tanah leluhur mereka. Tentu sangat menarik jika dikaji lebih lanjut mengenai konflik antara negara dengan penduduk asli dataran tinggi terkait pengawasan dan pengelolaan sumberdaya alam.
Mempelajari antropologi berarti mempelajari manusia dalam segala aspek untuk mendapat suatu pemahaman menyeluruh mengenai manusia termasuk di dalamnya konflik dalam aspek sosial, ekonomi, dan politik dalam kehidupan manusia. Saya menyadari bahwa saya harus banyak belajar untuk dapat lebih baik dan lebih semangat lagi belajar di jurusan antropologi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar