Menurut Budhy Munawar Rachman dalam
artikel yang berjudul : Pergulatan Orang Jawa Menjadi Muslim yang diterbitkan
oleh Kompas 13/4/14, bahwa sintesis mistis yang
ada di Jawa, isu utamanya adalah demokrasi. Yang berarti dalam perkara
agama tergantung pada kehendak rakyat pada saat itu.
Menurut saya, penyebaran Islam di
Jawa tidak terlepas dari struktur sosial dan proses sosial yang memungkinkan
masuknya nilai-nilai Islam kepada masyarakat Jawa. Hal ini berkaitan dengan
proses. Karena politik merupakan sebuah proses, masuknya nilai-nilai Islam
dalam masyarakat Jawa dipengaruhi oleh efektifitas struktur sosial yang ada
pada saat itu.
Masuknya unsur-unsur kebudayaan baru
yang tidak terlepas dari peran pihak-pihak yang berada "diatas"
masyarakatnya. Hal itu kan tidak terlepas dari proses, bagaimana cara mereka
berupaya menyederhanakan unsur-unsur itu supaya mudah diterima masyarakat.
Dalam kasus ini, peran pemerintah atau pihak yang berkuasa atau tokoh-tokoh
yang dituakan atau yang dipercaya pada masyarakat Jawa pada masa itu
mempengaruhi apakah masuknya nilai-nilai islam tersebut efektif dan bisa
diterima di dalam masyarakat atau tidak.
Sedangkan terbaginya masyarakat Jawa
menjadi kaum santri (putihan) dengan kaum abangan dilatarbelakangi oleh
kebudayaan yang ada pada masyarakat itu. Jika melihat teori Clifford Gertz
mengenai muslim di Jawa, yang disebut abangan adalah orang-orang yang berada di
wilayah pedalaman yang menerima Islam sebagai identitas agamanya tetapi tidak
menjalankan syariat agamanya dalam kehifupan sehari-hari. Hal ini berarti bahwa
kuatnya kepercayaan masyarakat terhadap kepercayaan nenek moyangnya mengakibatkan sulitnya Islam menjadi agamanya
sepenuhnya. Strategi politik untuk menyampaikan nilai-nilai keagamaan pada
masyarakat sederhana juga dianggap kurang berhasil sehingga menghasilkan dua
kubu yang bertentangan tersebut. Dalam buku antropologi politik H.J.M Claessen,
disinggung mengenai “demokrasi rakyat jelata”. Yakni kebebasan kecil dari
sebuah sistem paksaan yang dikendalikan oleh penguasa namun orang tetap
berpegang pada pendapatnya sendiri, dibawah bayang-bayang penguasa.
Sintesis mistik, dalam hal ini
merupakan nilai yang mengakar pada masyarakat Jawa. Sehingga masuknya
unsur-unsur religi baru agaknya sulit untuk disinkronisasikan dengan kebudayaan
yang telah ada. Dalam menyiasati hal tersebut, penanaman nilai-nilai keagamaan
di Jawa disampaikan dalam bentuk kesenian atau ditransmisikan dalam
pemerintahan yang notabene lebih mudah diserap dan diakui oleh masyarakat lokal
pada saat itu. Kesesuaian antara tujuan masuknya unsur-unsur keagamaan tersebut
harus disesuaikan dengan nilai-nilai dan norma-norma yang ada pada masyarakat
lokal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar