Cari Blog Ini

Sabtu, 26 April 2014

Demokrasi Merupakan Isu Utama dalam Sistesis Magis Sosial di Jawa, Benarkah?


Menurut Budhy Munawar Rachman dalam artikel yang berjudul : Pergulatan Orang Jawa Menjadi Muslim yang diterbitkan oleh Kompas 13/4/14, bahwa sintesis mistis yang  ada di Jawa, isu utamanya adalah demokrasi. Yang berarti dalam perkara agama tergantung pada kehendak rakyat pada saat itu.
Menurut saya, penyebaran Islam di Jawa tidak terlepas dari struktur sosial dan proses sosial yang memungkinkan masuknya nilai-nilai Islam kepada masyarakat Jawa. Hal ini berkaitan dengan proses. Karena politik merupakan sebuah proses, masuknya nilai-nilai Islam dalam masyarakat Jawa dipengaruhi oleh efektifitas struktur sosial yang ada pada saat itu.
Masuknya unsur-unsur kebudayaan baru yang tidak terlepas dari peran pihak-pihak yang berada "diatas" masyarakatnya. Hal itu kan tidak terlepas dari proses, bagaimana cara mereka berupaya menyederhanakan unsur-unsur itu supaya mudah diterima masyarakat. Dalam kasus ini, peran pemerintah atau pihak yang berkuasa atau tokoh-tokoh yang dituakan atau yang dipercaya pada masyarakat Jawa pada masa itu mempengaruhi apakah masuknya nilai-nilai islam tersebut efektif dan bisa diterima di dalam masyarakat atau tidak.
Sedangkan terbaginya masyarakat Jawa menjadi kaum santri (putihan) dengan kaum abangan dilatarbelakangi oleh kebudayaan yang ada pada masyarakat itu. Jika melihat teori Clifford Gertz mengenai muslim di Jawa, yang disebut abangan adalah orang-orang yang berada di wilayah pedalaman yang menerima Islam sebagai identitas agamanya tetapi tidak menjalankan syariat agamanya dalam kehifupan sehari-hari. Hal ini berarti bahwa kuatnya kepercayaan masyarakat terhadap kepercayaan nenek moyangnya  mengakibatkan sulitnya Islam menjadi agamanya sepenuhnya. Strategi politik untuk menyampaikan nilai-nilai keagamaan pada masyarakat sederhana juga dianggap kurang berhasil sehingga menghasilkan dua kubu yang bertentangan tersebut. Dalam buku antropologi politik H.J.M Claessen, disinggung mengenai “demokrasi rakyat jelata”. Yakni kebebasan kecil dari sebuah sistem paksaan yang dikendalikan oleh penguasa namun orang tetap berpegang pada pendapatnya sendiri, dibawah bayang-bayang penguasa.
Sintesis mistik, dalam hal ini merupakan nilai yang mengakar pada masyarakat Jawa. Sehingga masuknya unsur-unsur religi baru agaknya sulit untuk disinkronisasikan dengan kebudayaan yang telah ada. Dalam menyiasati hal tersebut, penanaman nilai-nilai keagamaan di Jawa disampaikan dalam bentuk kesenian atau ditransmisikan dalam pemerintahan yang notabene lebih mudah diserap dan diakui oleh masyarakat lokal pada saat itu. Kesesuaian antara tujuan masuknya unsur-unsur keagamaan tersebut harus disesuaikan dengan nilai-nilai dan norma-norma yang ada pada masyarakat lokal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar