Another
my story J
Semilir
angin menemaniku sore itu. Belaiannya menggoyangkan rerumputan yang sedari tadi
kupandangi. Tanah retak kecoklatan menjadi alas dudukku. Kemarau kali ini
terlalu panjang, seharusnya ini sudah menapaki musim hujan menurutku. “lagi
ngapain kamu disini nak?”Ibu membangunkan lamunanku. “gapapa bu, pengen
menikmati sore terakhir di kota” jawabku sembari menatap ke langit yang mulai
bersiluet senja. “ya sudah, ibu tinggal ya..” kata ibu sambil menepuk pundakku
dan hanya kujawab dengan anggukkan.
Besok
pagi aku harus segera bersiap pergi ke luar kota. Tepatnya ke tempat dimana
nenek dan abahku tinggal. Entahlah, perasaan rindu akan keluarga di kota sudah
muncul terlebih dahulu padahal aku belum berpisah dengan orangtuaku. Sebenarnya
tujuanku ke desa adalah karena saran dari orangtuaku. Abahku adalah
seorang petani yang juga sebagai pendiri pondok pesantren di desa.
Sedangkan nenekku adalah seorang aktivis yang masih sangat aktif mengikuti
pengajian-pengajian di desa, antar kampung, bahkan pernah nenek sampai pergi ke
luar kota untuk sekedar mengikuti pengajian yang diadakan oleh radio swasta di
Bandung. Well, rumah nenekku bukan di Bandung, tapi di Jatinangor, dekat dengan
kampusku.
Pagi-pagi
sekali ayah sudah memanaskan mesin mobil dan barang-barang yang perlu kubawa
sudah masuk bagasi semua. Ibu rupanya sedang mengelap beberapa piring yang baru
selesai dicuci. “Baru bangun nak? Mandi dulu sana” suruh ibu sebelum sempat
kujawab pertanyaannya sebelumnya. “bentar dulu ah, laper banget nih bu” tukasku
sambil menghampiri meja makan. “eeeeh... mandi dulu Oki...” “Bentar bu,”
jawabku enteng sambil mengoleskan selai kacang diatas roti dan menumpuknya
hingga empat lapis. Ibu hanya memperhatikanku sambil terus mengusapkan lap di
permukaan piring.
“Nanti
di desa kamu bakal banyak belajar tentang kehidupan” tiba-tiba ayah menepuk
pundakku dan langsung duduk disampingku,
kemudian mengambil selembar roti. Aku yang belum sempat menelan roti di
mulutku kesusahan untuk bertanya dan kemudian aku hanya diam. “nanti, abah dan
nenek akan menunjukkan banyak hal luar biasa yang sangat berbeda sama kehidupan
kita di kota.” Ayah melanjutkan sambil tangannya sibuk mengoleskan selai
strawberi diatas rotinya. “kamu harus terbiasa tinggal disana Ki, kamu akan
hidup disaana selama empat tahun. Kalo kamu ketemu jodoh disana bisa-bisa kamu
ga mau balik kesini lagi.” Ibu menimpali diiringi tawa renyahnya.
***
Setelah
mandi dan berganti pakaian, aku segera turun ke lantai dasar untuk menemui ayah
di garasi. Ayah dan ibu sudah menungguku sedari tadi. Ini akibat tadi malam aku
tidur terlalu malam hingga bangun kesiangan dan akhirnya membuatku
tergesa-gesa. “yuk bu,” ajak ayah sambil membukakan pintu mobil untuk ibu. Aku
setengah berlari dari tangga agar bisa segera menghenyakkan pantatku di jok
mobil. “wah, koq jadi wangi yah mobilnya?” aku sedikit berbasa-basi ketika
sudah duduk di jok. “harus dong Ki, jadi kan yang bawanya juga nyaman, ga kayak
kamar kamu tuh. Ga bikin nyaman penghuninya.” Canda ayah yang diiringi tawa
kami bertiga. “Oke Jatinangor, kami dataaaaaaaaang......” teriakku girang
ketika ayah mulai menstarter mobil.
Kami
tiba di Jatinangor sekitar pukul dua belas siang. Sepanjang perjalanan kami
bernyanyi bersama, menonton film, dan sempat makan bersama di rest area. “yah,
di desa tuh kebudayaannya masih kentel gitu ya?” “waktu terakhir ayah kesana
sih masih cukup kental Ki, tapi kesini-kesini, anak-anak muda seusia kamu itu
tidak menyadari identitasnya. Mereka terhanyut oleh gelombang globalisasi yang
menuntut mereka serba terbuka” ada penekanan dalam kata ‘terbuka’ yang ayah
ucapkan. Aku tidak mengerti maksud ayah. Begitu kutanya maksudnya, ayah malah
menyuruhku mencari tahu apa sebenarnya menjadi problematika yang terjadi di
desa Jatinangor ini.
Setelah
melewati jalan sempit menuju rumah nenek, akhirnya kami tiba di depan rumah
neneh dan abahku. Nenek sudah menyambut kami di depan gerbang rumahnya. “Nembe
dugi jang?”(baca: baru tiba nak?) tanya abah sambil menghampiri ayahku lalu
mereka berpelukan. Kakek juga memelukku. “Alhamdulillah atos bah” (baca:
Alhammdulillah sudah bah). Abah berpakaian laiknya seorang kyai, dengan gamis
gombrang panjang hingga diatas mata kaki, dan nenek menggunakan jilbab panjang
hingga bawahannya menyentuh lantai. Aku merasa tidak sedang berada di
Indonesia, tapi di Arab Saudi. Entah darimana pikiran seperti itu muncul.
Untuk
beberapa saat ayah dan kakek berdialog dalam bahasa sunda, namun skakek
memaklumi bahwa ibu dan aku tidak mahir berbicara bahasa Sunda. Aku sedikit-sedikit
mengerti bahasa sunda walaupun tidak lancar dalam berbicara bahasa sunda. Ibuku
asli Padang, dan ayahku asli Sunda, tapi kami tinggal di Jakarta.
Sedikit-sedikit aku mengerti bahasa Sunda dan Padang. “ieu nu kasep teh?
Euleuh-euleuh.. meni tos ageung cu,” (baca: ini yang ganteng tuh? Ya ampuuun...
sudah besar ternyata cu,) nenek menghampiri ibu dan aku sambil menyerahkan
tangannya padaku, untuk cium tangan. Nenek kemudian berpelukan dengan ibu. Aku
memeluk diriku sendiri, hehe. “Yuk masuk dulu,” ajak abah kepada kami bertiga.
Rumah
nenek terlihat sederhana dari luar, namun begitu masuk ke dalam, suasananya
seperti hotel-hotel berbintang tiga di Jakarta. Lumayan lah...
Untuk
beberapa saat keluarga ayah saling melepas rindu. Beberapa saudara ayah juga
ada di rumah ini. Semuanya baik dan ramah terhadapku. Aku juga dikenalkan
dengan sepupuku yang bernama Mega yang juga akan memulai kuliah di universitas
yang sama denganku. Yah.. untuk mahasiswa baru seperti kami, setidaknya disini
aku sudah punya kenalan di desa.
Setelah
beberapa saat melepas rindu, abah menunjukkan kamarku yang berada di pesantren
putra di pondok pesantrennya. Letak pondok pesantren yang didirikan abah tidak
jauh dari rumahnya, hanya sekitar 20 meter. Kamarku berada di lantai dua. Abah
dan ayahku membawakan beberapa barang-barangku dan aku membawa beberapa barang
juga yang lebih ringan.
Kamar
baruku berukuran 4x6 dengan kamar mandi di pojok kiri. Di dalam kamar sudah ada
dua buah kasur, dua buah meja belajar, dan dua buah lemari kecil untuk pakaian.
“nanti saya tidurnya berdua bah?” “kalau kamu mau ya silahkan nak, kalaupun
tidak abah bisa mengondisikan kamu biar tetap tidur sendiri” jawab kakek tenang
sambil meletakkan kunci kamar diatas meja belajar. “Oh.. begitu ya bah. Saya
ingin sendiri aja bah, soalnya gak biasa kalo ada yang tidur sekamar” terangku
sambil tersenyum. Ayah hanya tersenyum sambil mengeluarkan barang-barangku.
***
Malam
ini aku mulai tidur di ponpes abahku. Oh iya, nama pon pes ini adalah Riyadhlul
Muttaqin. Ponpes ini dihuni oleh beberapa mahasiswa yang satu universitas
denganku dan beberapa siswa SMA yang berada ridak jauh dari lokasi ponpes.
Sebenarnya, kalau dilihat-lihat, ponpes ini tidak seperti pondok pesantren pada
umumnya, tapi lebih mirip kost-kostan. Kakek bilang, setelah para alumni ponpes
pindah ke luar kota atau pulang ke daerahnya, aktivitas di ponpes menjadi
kurang bergairah. Sangat jarang diperdengarkan lantunan ayat al-Qur’an setiap
malam dan dini hari. Kakek sebetulnya sangat ingin menghidupkan kembali
kegiatan di ponpes namun kegiatan pada penghuni ponpes sudah cukup padat dengan
segala aktifitasnya di kampus. Aktifitas yang masih dilaksanakan hingga saat
ini adalah diskusi keagamaan dan tahsin, atau belajar membaca al-Qur’an. Ayah
dan ibu belum pulang ke Jakarta, mereka masih ada di rumah abah. Sedangkan aku
sedang menikmati kamar baru yang nantinya akan menjadi tempat istirahatku
hingga empat tahun lamanya.
Angin
malam terasa dingin disini. Mungkin karena tubuhku belum menyesuaikan diri
dengan iklim di desa. Aku membongkar tas yang berisi baju-bajuku mencari jaket
kesayanganku. Tiba-tiba aku tertarik dengan sesuatu yang dibungkus ibu dengan
kertas kado. Aku membukanya dan kutemukan surat kecil diatas isi kado tersebut.
‘hangatkan kamar ini dengan bacaan ayat
al-Qur’an ya sayang, dari ibu’
“Ibu..
ibu. Gimana bisa nanti aku gak kangen sama ibu dan ayah..” gumamku sambil
menatap al-Qur’an ditanganku.
***
Keesokan
harinya, ibu dan ayah pamit pulang ke Jakarta. Ibu memberiku banyak nasehat,
begitupun ayah. Ayah sampai memelukku beberapa kali dan ibu mencium keningku.
Sebenarnya aku agak tengsin juga, aku kan cowok, udah 17th juga, tapi
diperlakukan seperti anak SD. Didepan keluarga ayahku pula, ada Mega lagi.
Hahh.. tapi aku bersikap biasa aja seolah tidak terjadi apa-apa. Padahal aku
tahu Mega tadi sempat seperti menahan ketawa melihat perlakuan orangtuaku
terhadapku.
Seminggu
pertama di pesantren ini kuisi dengan belajar ayat suci kepada abahku dan
nongkrong bersama teman-teman ikhwan di asrama. Kebanyakan dari mereka berasal
dari Tasikmalaya dan Puncak. Namun yang membuatku heran adalah mereka tidak
menggunakan bahasa sunda seperti abah dan nenekku. Mereka menggunakan bahasa
yang digunakan adalah percampuran bahasa Indonesia dengan bahasa sunda. Malah
sering kudengar mereka berbicara dengan kebudayaan betawi berikut logatnya.
Disinilah aku mulai melihat apa yang kuanggap “tidak sesuai”.
“Eh
lu udah tau belum katanya besok ada acara bagus di Universitas kita?” salah
seorang teman membuyarkan lamunanku dengan menepuk pundakku tiba-tiba. “acara
apaan? Baru denger tuh gue,” jawabku. Sedikit aneh, aku mengenalnya sebagai
Fadli anak Tasikmalaya. Dia asli keturunan sunda. Tapi dia berbicara laiknya orang
Jakarta dengan menggunakan bahasa daerah dari betawi. Yah meskipun orangtuaku
bukan asli Jakarta, tapi tanah kelahiranku Jakarta dan aku tinggal disana
selama lebih dari tujuh belas tahun. Yang tak terpikirkan, aku sekarang berada
di tanah sunda dan aku harus menyesuaikan diri dengan bahasa sunda namun orang
sundanya sendiri malah berbuat demikian. Seperti salah seorang teman berkata
bahwa orang luarlah yang harus beradaptasi dengan dunia barunya di tanah sunda,
namun yang terjadi sekarang adalah orang sunda yang mengadaptadikan dirinya
dengan budaya luar.
Singkat
cerita, Fadli memberitahuku bahwa beberapa minggu lagi akan ada festival di
universitasku. Dia selanjutnya bercerita tentang dirinya dan masa sekolahnya.
Aku hanya menanggapinya dengan tersenyum karena jujur saja, sedikit geli
mendengar orang sunda dengan logat sundanya tapi bahasa yang digunakan adalah
bahasa dari betawi.
***
Malam
ini aku sengaja tidak tidur di kamarku. Aku ingin mendekatkan diri dengan
beberapa teman di pesantren ini dengan menonton bola bersama-sama dan tidur
bersama-sama di depan televisi yang ada di tengah-tengah bangunan pesantren.
Disini mereka yang asli sunda bergabung dan berbicara dengan bahasa sunda,
orang Padang dan Jawa Tengahpun demikian. Mereka berbicara. Mungkin terlihat
seperti berkubu-kubu, namun disini tidak mengenal perpecahan. Semuanya
bersama-sama. Akupun melihat Fadli bergabung dengan beberapa orang yang asli
dari suku sunda.
“heh,
bengong aja lu. Sini gabung !” Ajak Fadli kepadaku.
“Oh
oke siap” aku lalu menghampiri tempatnya bersama teman-teman yang lain. Ada
Andi, Reza, Fadlan, Rizki, zaid, Dega, Offend, dan Azis. Mereka semua terlihat
sangat akrab dan senang bercanda. Rizki, Zaid dam Offend bukan dari keturunan
sunda, tapi mereka asli anak ibu kota yang telah lama tinggal dan berhasil
menyesuaikan diri dengan budaya disini.
Kami
mengobrol untuk waktu yang lama sambil menunggu acara bola dimulai. Yang
menyebalkan, ketika meraka berbicara denegan bahasa sunda dan sengaja dengan
tangan menunjuk-nunjuk kepadaku sambil terkekeh-kekeh. Siapapun yang tidak
mengerti bahasa sunda pasti mengira dia sedang membicarakan oarang yang
ditunjuknya. Ternyata Zaid bilang bahwa mereka hanya mencandaiku. Padahal aku
hampir saja mau pergi dari tempat itu karena merasa tidak enak.
To
be continued.............
Tidak ada komentar:
Posting Komentar