Cari Blog Ini

Kamis, 06 Desember 2012

Another My Story



Another my story J
Semilir angin menemaniku sore itu. Belaiannya menggoyangkan rerumputan yang sedari tadi kupandangi. Tanah retak kecoklatan menjadi alas dudukku. Kemarau kali ini terlalu panjang, seharusnya ini sudah menapaki musim hujan menurutku. “lagi ngapain kamu disini nak?”Ibu membangunkan lamunanku. “gapapa bu, pengen menikmati sore terakhir di kota” jawabku sembari menatap ke langit yang mulai bersiluet senja. “ya sudah, ibu tinggal ya..” kata ibu sambil menepuk pundakku dan hanya kujawab dengan anggukkan.
Besok pagi aku harus segera bersiap pergi ke luar kota. Tepatnya ke tempat dimana nenek dan abahku tinggal. Entahlah, perasaan rindu akan keluarga di kota sudah muncul terlebih dahulu padahal aku belum berpisah dengan orangtuaku. Sebenarnya tujuanku ke desa adalah karena saran dari orangtuaku. Abahku  adalah  seorang petani yang juga sebagai pendiri pondok pesantren di desa. Sedangkan nenekku adalah seorang aktivis yang masih sangat aktif mengikuti pengajian-pengajian di desa, antar kampung, bahkan pernah nenek sampai pergi ke luar kota untuk sekedar mengikuti pengajian yang diadakan oleh radio swasta di Bandung. Well, rumah nenekku bukan di Bandung, tapi di Jatinangor, dekat dengan kampusku.
Pagi-pagi sekali ayah sudah memanaskan mesin mobil dan barang-barang yang perlu kubawa sudah masuk bagasi semua. Ibu rupanya sedang mengelap beberapa piring yang baru selesai dicuci. “Baru bangun nak? Mandi dulu sana” suruh ibu sebelum sempat kujawab pertanyaannya sebelumnya. “bentar dulu ah, laper banget nih bu” tukasku sambil menghampiri meja makan. “eeeeh... mandi dulu Oki...” “Bentar bu,” jawabku enteng sambil mengoleskan selai kacang diatas roti dan menumpuknya hingga empat lapis. Ibu hanya memperhatikanku sambil terus mengusapkan lap di permukaan piring.
“Nanti di desa kamu bakal banyak belajar tentang kehidupan” tiba-tiba ayah menepuk pundakku dan langsung duduk disampingku,  kemudian mengambil selembar roti. Aku yang belum sempat menelan roti di mulutku kesusahan untuk bertanya dan kemudian aku hanya diam. “nanti, abah dan nenek akan menunjukkan banyak hal luar biasa yang sangat berbeda sama kehidupan kita di kota.” Ayah melanjutkan sambil tangannya sibuk mengoleskan selai strawberi diatas rotinya. “kamu harus terbiasa tinggal disana Ki, kamu akan hidup disaana selama empat tahun. Kalo kamu ketemu jodoh disana bisa-bisa kamu ga mau balik kesini lagi.” Ibu menimpali diiringi tawa renyahnya.
***
Setelah mandi dan berganti pakaian, aku segera turun ke lantai dasar untuk menemui ayah di garasi. Ayah dan ibu sudah menungguku sedari tadi. Ini akibat tadi malam aku tidur terlalu malam hingga bangun kesiangan dan akhirnya membuatku tergesa-gesa. “yuk bu,” ajak ayah sambil membukakan pintu mobil untuk ibu. Aku setengah berlari dari tangga agar bisa segera menghenyakkan pantatku di jok mobil. “wah, koq jadi wangi yah mobilnya?” aku sedikit berbasa-basi ketika sudah duduk di jok. “harus dong Ki, jadi kan yang bawanya juga nyaman, ga kayak kamar kamu tuh. Ga bikin nyaman penghuninya.” Canda ayah yang diiringi tawa kami bertiga. “Oke Jatinangor, kami dataaaaaaaaang......” teriakku girang ketika ayah mulai menstarter mobil.
Kami tiba di Jatinangor sekitar pukul dua belas siang. Sepanjang perjalanan kami bernyanyi bersama, menonton film, dan sempat makan bersama di rest area. “yah, di desa tuh kebudayaannya masih kentel gitu ya?” “waktu terakhir ayah kesana sih masih cukup kental Ki, tapi kesini-kesini, anak-anak muda seusia kamu itu tidak menyadari identitasnya. Mereka terhanyut oleh gelombang globalisasi yang menuntut mereka serba terbuka” ada penekanan dalam kata ‘terbuka’ yang ayah ucapkan. Aku tidak mengerti maksud ayah. Begitu kutanya maksudnya, ayah malah menyuruhku mencari tahu apa sebenarnya menjadi problematika yang terjadi di desa Jatinangor ini.
Setelah melewati jalan sempit menuju rumah nenek, akhirnya kami tiba di depan rumah neneh dan abahku. Nenek sudah menyambut kami di depan gerbang rumahnya. “Nembe dugi jang?”(baca: baru tiba nak?) tanya abah sambil menghampiri ayahku lalu mereka berpelukan. Kakek juga memelukku. “Alhamdulillah atos bah” (baca: Alhammdulillah sudah bah). Abah berpakaian laiknya seorang kyai, dengan gamis gombrang panjang hingga diatas mata kaki, dan nenek menggunakan jilbab panjang hingga bawahannya menyentuh lantai. Aku merasa tidak sedang berada di Indonesia, tapi di Arab Saudi. Entah darimana pikiran seperti itu muncul.
Untuk beberapa saat ayah dan kakek berdialog dalam bahasa sunda, namun skakek memaklumi bahwa ibu dan aku tidak mahir berbicara bahasa Sunda. Aku sedikit-sedikit mengerti bahasa sunda walaupun tidak lancar dalam berbicara bahasa sunda. Ibuku asli Padang, dan ayahku asli Sunda, tapi kami tinggal di Jakarta. Sedikit-sedikit aku mengerti bahasa Sunda dan Padang. “ieu nu kasep teh? Euleuh-euleuh.. meni tos ageung cu,” (baca: ini yang ganteng tuh? Ya ampuuun... sudah besar ternyata cu,) nenek menghampiri ibu dan aku sambil menyerahkan tangannya padaku, untuk cium tangan. Nenek kemudian berpelukan dengan ibu. Aku memeluk diriku sendiri, hehe. “Yuk masuk dulu,” ajak abah kepada kami bertiga.
Rumah nenek terlihat sederhana dari luar, namun begitu masuk ke dalam, suasananya seperti hotel-hotel berbintang tiga di Jakarta. Lumayan lah...
Untuk beberapa saat keluarga ayah saling melepas rindu. Beberapa saudara ayah juga ada di rumah ini. Semuanya baik dan ramah terhadapku. Aku juga dikenalkan dengan sepupuku yang bernama Mega yang juga akan memulai kuliah di universitas yang sama denganku. Yah.. untuk mahasiswa baru seperti kami, setidaknya disini aku sudah punya kenalan di desa. 
Setelah beberapa saat melepas rindu, abah menunjukkan kamarku yang berada di pesantren putra di pondok pesantrennya. Letak pondok pesantren yang didirikan abah tidak jauh dari rumahnya, hanya sekitar 20 meter. Kamarku berada di lantai dua. Abah dan ayahku membawakan beberapa barang-barangku dan aku membawa beberapa barang juga yang lebih ringan.
Kamar baruku berukuran 4x6 dengan kamar mandi di pojok kiri. Di dalam kamar sudah ada dua buah kasur, dua buah meja belajar, dan dua buah lemari kecil untuk pakaian. “nanti saya tidurnya berdua bah?” “kalau kamu mau ya silahkan nak, kalaupun tidak abah bisa mengondisikan kamu biar tetap tidur sendiri” jawab kakek tenang sambil meletakkan kunci kamar diatas meja belajar. “Oh.. begitu ya bah. Saya ingin sendiri aja bah, soalnya gak biasa kalo ada yang tidur sekamar” terangku sambil tersenyum. Ayah hanya tersenyum sambil mengeluarkan barang-barangku.
***
Malam ini aku mulai tidur di ponpes abahku. Oh iya, nama pon pes ini adalah Riyadhlul Muttaqin. Ponpes ini dihuni oleh beberapa mahasiswa yang satu universitas denganku dan beberapa siswa SMA yang berada ridak jauh dari lokasi ponpes. Sebenarnya, kalau dilihat-lihat, ponpes ini tidak seperti pondok pesantren pada umumnya, tapi lebih mirip kost-kostan. Kakek bilang, setelah para alumni ponpes pindah ke luar kota atau pulang ke daerahnya, aktivitas di ponpes menjadi kurang bergairah. Sangat jarang diperdengarkan lantunan ayat al-Qur’an setiap malam dan dini hari. Kakek sebetulnya sangat ingin menghidupkan kembali kegiatan di ponpes namun kegiatan pada penghuni ponpes sudah cukup padat dengan segala aktifitasnya di kampus. Aktifitas yang masih dilaksanakan hingga saat ini adalah diskusi keagamaan dan tahsin, atau belajar membaca al-Qur’an. Ayah dan ibu belum pulang ke Jakarta, mereka masih ada di rumah abah. Sedangkan aku sedang menikmati kamar baru yang nantinya akan menjadi tempat istirahatku hingga empat tahun lamanya.
Angin malam terasa dingin disini. Mungkin karena tubuhku belum menyesuaikan diri dengan iklim di desa. Aku membongkar tas yang berisi baju-bajuku mencari jaket kesayanganku. Tiba-tiba aku tertarik dengan sesuatu yang dibungkus ibu dengan kertas kado. Aku membukanya dan kutemukan surat kecil diatas isi kado tersebut.
hangatkan kamar ini dengan bacaan ayat al-Qur’an ya sayang, dari ibu
“Ibu.. ibu. Gimana bisa nanti aku gak kangen sama ibu dan ayah..” gumamku sambil menatap al-Qur’an ditanganku.
***
Keesokan harinya, ibu dan ayah pamit pulang ke Jakarta. Ibu memberiku banyak nasehat, begitupun ayah. Ayah sampai memelukku beberapa kali dan ibu mencium keningku. Sebenarnya aku agak tengsin juga, aku kan cowok, udah 17th juga, tapi diperlakukan seperti anak SD. Didepan keluarga ayahku pula, ada Mega lagi. Hahh.. tapi aku bersikap biasa aja seolah tidak terjadi apa-apa. Padahal aku tahu Mega tadi sempat seperti menahan ketawa melihat perlakuan orangtuaku terhadapku.
Seminggu pertama di pesantren ini kuisi dengan belajar ayat suci kepada abahku dan nongkrong bersama teman-teman ikhwan di asrama. Kebanyakan dari mereka berasal dari Tasikmalaya dan Puncak. Namun yang membuatku heran adalah mereka tidak menggunakan bahasa sunda seperti abah dan nenekku. Mereka menggunakan bahasa yang digunakan adalah percampuran bahasa Indonesia dengan bahasa sunda. Malah sering kudengar mereka berbicara dengan kebudayaan betawi berikut logatnya. Disinilah aku mulai melihat apa yang kuanggap “tidak sesuai”.
“Eh lu udah tau belum katanya besok ada acara bagus di Universitas kita?” salah seorang teman membuyarkan lamunanku dengan menepuk pundakku tiba-tiba. “acara apaan? Baru denger tuh gue,” jawabku. Sedikit aneh, aku mengenalnya sebagai Fadli anak Tasikmalaya. Dia asli keturunan sunda. Tapi dia berbicara laiknya orang Jakarta dengan menggunakan bahasa daerah dari betawi. Yah meskipun orangtuaku bukan asli Jakarta, tapi tanah kelahiranku Jakarta dan aku tinggal disana selama lebih dari tujuh belas tahun. Yang tak terpikirkan, aku sekarang berada di tanah sunda dan aku harus menyesuaikan diri dengan bahasa sunda namun orang sundanya sendiri malah berbuat demikian. Seperti salah seorang teman berkata bahwa orang luarlah yang harus beradaptasi dengan dunia barunya di tanah sunda, namun yang terjadi sekarang adalah orang sunda yang mengadaptadikan dirinya dengan budaya luar.
Singkat cerita, Fadli memberitahuku bahwa beberapa minggu lagi akan ada festival di universitasku. Dia selanjutnya bercerita tentang dirinya dan masa sekolahnya. Aku hanya menanggapinya dengan tersenyum karena jujur saja, sedikit geli mendengar orang sunda dengan logat sundanya tapi bahasa yang digunakan adalah bahasa dari betawi.
***
Malam ini aku sengaja tidak tidur di kamarku. Aku ingin mendekatkan diri dengan beberapa teman di pesantren ini dengan menonton bola bersama-sama dan tidur bersama-sama di depan televisi yang ada di tengah-tengah bangunan pesantren. Disini mereka yang asli sunda bergabung dan berbicara dengan bahasa sunda, orang Padang dan Jawa Tengahpun demikian. Mereka berbicara. Mungkin terlihat seperti berkubu-kubu, namun disini tidak mengenal perpecahan. Semuanya bersama-sama. Akupun melihat Fadli bergabung dengan beberapa orang yang asli dari suku sunda.
“heh, bengong aja lu. Sini gabung !” Ajak Fadli kepadaku.
“Oh oke siap” aku lalu menghampiri tempatnya bersama teman-teman yang lain. Ada Andi, Reza, Fadlan, Rizki, zaid, Dega, Offend, dan Azis. Mereka semua terlihat sangat akrab dan senang bercanda. Rizki, Zaid dam Offend bukan dari keturunan sunda, tapi mereka asli anak ibu kota yang telah lama tinggal dan berhasil menyesuaikan diri dengan budaya disini.
Kami mengobrol untuk waktu yang lama sambil menunggu acara bola dimulai. Yang menyebalkan, ketika meraka berbicara denegan bahasa sunda dan sengaja dengan tangan menunjuk-nunjuk kepadaku sambil terkekeh-kekeh. Siapapun yang tidak mengerti bahasa sunda pasti mengira dia sedang membicarakan oarang yang ditunjuknya. Ternyata Zaid bilang bahwa mereka hanya mencandaiku. Padahal aku hampir saja mau pergi dari tempat itu karena merasa tidak enak.
To be continued.............

Tidak ada komentar:

Posting Komentar